Teori Konspirasi yang Berujung Masalah Kesehatan

Kampartrapost.com – “Semakin negatif perasaan seseorang tentang diri mereka sendiri dan orang lain, semakin besar kemungkinan mereka untuk mempercayai teori konspirasi”

Apakah ada yang percaya bahwa bumi itu datar? atau anda salah satu yang percaya bahwa Covid-19 adalah buatan dari para elit global di AS? Apakah anda juga salah satu yang tidak percaya vaksin Covid-19?

Setiap hari, orang-orang yang menghabiskan waktu di dunia maya menghadapi banjirnya teori konspirasi, misinformasi, dan disinformasi. Banyak dari mereka scroll atas-bawah, meng-klik konten aneh atau hoax yang telah terancang untuk memikat mereka.

Namun, beberapa menjadi terjerat karena alasan yang tidak sepenuhnya dipahami oleh para ahli. Berkat algoritma, orang dengan cepat menyelinap ke sudut gelap internet dan menemukan komunitas orang yang percaya, atau bahkan fanatik, yang bersumpah bahwa mereka telah menemukan kebenaran tersembunyi dan pengetahuan terlarang yang belum diklarifikasi keabsahannya.

Orang-orang ini mungkin berhak untuk tidak mempercayai otoritas pemerintah. Menemukan polarisasi politik yang menyegarkan, dan mencari informasi yang menegaskan pandangan mereka sendiri, yang semuanya dapat membuat mereka lebih rentan terjerumus dalam kebohongan. Faktanya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kesehatan mental mereka dapat memengaruhi apa yang ingin mereka percayai.

Baca juga: Kena Imbas PPKM Level 4, Pedagang Kaki Lima Yogyakarta Kibarkan Bendera Putih

Penelitian telah menunjukkan bahwa teori konspirasi menarik bagi orang-orang dengan kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi. Mereka mendambakan pengetahuan, menginginkan keselamatan dan keamanan, dan perlu mempertahankan harga diri yang positif.

Teori konspirasi, yang terkadang benar, membantu menjelaskan hal-hal yang tidak diketahui, memberikan kepuasan mendalam kepada orang-orang. Namun, kelegaan itu bisa bersifat sementara. Penelitian sebelumnya menunjukkan teori konspirasi dikaitkan dengan kecemasan, kekhawatiran, dan emosi negatif.

Sekarang, penelitian baru yang dilakukan selama pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa hubungan yang masuk akal antara ketidakpastian, kecemasan, dan depresi memungkinkan akan kepercayaan mempercayai teori konspirasi.

Konspirasi Meracuni Kesehatan Mental

Joanne Miller, Ph.D., pakar psikologi politik, melihat tantangan serupa. Musim panas lalu, Canadian Journal of Political Science menerbitkan analisis Miller tentang teori konspirasi yang dia lakukan dengan 3.019 orang dewasa Amerika Serikat. Miller menemukan bahwa hampir setengah dari responden percaya bahwa Covid-19 pasti atau mungkin merupakan senjata biologis dari China. Dan bahwa salah satu orang terkaya di dunia, Bill Gates memiliki rencana untuk menyuntikkan alat pelacak (microchip) bersama dengan vaksin Covid-19. Kedua teori konspirasi telah mendominasi diskusi online beberapa teori tentang pandemi.

Miller, seorang profesor di departemen ilmu politik dan Hubungan Internasional serta Ilmu Psikologi dan otak di University of Delaware, secara mengejutkan menemukan bahwa orang yang cenderung pada pemikiran konspirasi lebih cenderung mendukung teori individu. Tetapi mereka yang mengungkapkan ketidakpastian individu yang lebih besar juga lebih cenderung mempercayai teori konspirasi Covid-19.

Begitupun, afiliasi politik atau komunitas memainkan peran juga mengidentifikasi diri lebih cenderung menjadi orang percaya. Ketiga variabel tersebut, pemikiran konspirasi, ketidakpastian pribadi, dan identifikasi pihak, semuanya berinteraksi untuk memengaruhi keyakinan teori konspirasi.

Baca juga: Inggris Bakal Buat Inovasi Bahan Bakar Pesawat Ramah Lingkungan dari Tinja

Miller percaya bahwa sementara intervensi media seperti pengecekan fakta itu penting, mereka mengabaikan motivasi di balik mengapa orang beralih ke teori konspirasi dan disinformasi. Dia menggambarkan dinamika ini sebagai “Copying by Conspiracy“.

Kita ambil kasus teori konspirasi lain yang sangat berkeliaran di dunia maya akhir-akhir ini baik di Indonesia maupun global. Misalnya, mempercayai teori konspirasi populer bahwa menara 5G menyebarkan Covid-19. Biasanya pakar teori konspirasi atau pengikutnya akan mencari celah atau pembuktian dengan cocoklogi yang tidak masuk akal. Jika mereka masih mencari jawaban dan tidak menemukan penjelasan yang memuaskan, kepalsuan atau teori lain akan selalu menunggu untuk memberikan kenyamanan kepastian.

Di Amerika Serikat dan Kanada, terdapat dua survei tentang emosional dan konsep konspirasi yang terjadi selama pandemi dan hasilnya menarik. Satu survei terhadap 797 peserta menemukan bahwa setengah dari responden percaya setidaknya satu teori konspirasi besar tentang Covid-19. Seperti virus adalah senjata biologis dan cara untuk mendorong vaksin. Survei tindak lanjut kedua mengungkapkan bahwa keyakinan konspirasi tersebut dikaitkan dengan kecemasan yang lebih besar.

Seorang psikolog dan peneliti di Universitas Toronto, Talia Leibovitz, menyebut pandangan ini sebagai “Self-Scheme” – kerangka kerja yang memandu bagaimana orang melihat dunia. Semakin negatif perasaan seseorang tentang diri mereka sendiri dan orang lain, semakin besar kemungkinan mereka mempercayai teori konspirasi tentang Covid-19. Bagaimanapun, Self-Scheme yang positif adalah pelindung terhadap kepercayaan konspirasi itu. Orang-orang dengan pandangan yang lebih positif tentang diri mereka sendiri, yang mungkin percaya bahwa mereka adalah orang yang baik atau sukses dapat lebih mudah melihat wisdom mereka sendiri bahkan ketika melalui masa-masa sulit.

Baca juga: Polisi Pastikan Tak Ada Duit Rp 2 Triliun di Rekening Anak Akidi Tio

“Ada banyak liputan media mengenai peran teori konspirasi dalam mengurangi kemungkinan vaksinasi atau kepatuhan dengan persyaratan jarak sosial. Namun, penting juga untuk diingat bahwa mempercayai teori konspirasi juga berdampak negatif pada orang yang mempercayainya,” ujar Talia Leibovit.

Disinformasi Sebagai “Masalah Kesehatan”

Menurut penulis tampaknya kita tidak siap untuk mengenali ancaman yang terwakili oleh teori konspirasi dan disinformasi. Tentu saja, fenomena tersebut berakar pada masalah yang kompleks, termasuk meningkatnya polarisasi politik dan cara merancang platform media sosial. Kita telah menyaksikan kecepatan penyebaran kebohongan online (Hoax) yang semakin cepat dan informasi yang tak terbendung.

Tak dapat dipungkiri bahwa fakta tidak akan menyelamatkan kita. Kita harus mulai memikirkan kebohongan yang berkembang biak secara online tidak hanya sebagai masalah informasi. Tetapi juga sebagai “masalah kesehatan” yang mempengaruhi semua orang, beberapa secara tidak proporsional. Kelompok rentan dan terpinggirkan yang menjadi sasaran teori konspirasi rasis atau fanatik dan disinformasi, seperti orang-orang keturunan Asia yang telah diserang secara verbal atau fisik selama pandemi, dan krisis akan kepercayaan terhadap orang lain. Sehingga, membuat kita makin hari makin khawatir bahwa di dunia ini tidak ada yang benar selain informasi yang telah diterimanya secara mentah-mentah dan akhirnya berujung ke masalah kesehatan.

Tidak ada keraguan bahwa kita hidup di masa genting dan akses informasi yang tanpa batas. Sekarang kita harus membayangkan apa yang diperlukan untuk membawa orang kembali ke diri mereka sendiri. Percaya diri pada kemampuan mereka untuk bergerak maju di dunia yang tak terduga tanpa mempercayai kebohongan yang dirancang untuk menghancurkan ikatan yang menyatukan masyarakat.

Berita Terkait