Aktivis Wanita Benin Suarakan Kebebasan Aborsi

Afrika Barat, Kampartrapost.com – Para aktivis wanita di Benin, Afrika Selatan menyuarakan kebebasan aborsi bagi kaum wanita. Hal ini menyusul karena di Benin legalisasi aborsi ditentang oleh gereja.

Melansir Al Jazeera, hingga pekan lalu, kebebasan aborsi di Benin hanya berlaku secara hukun jika kehamilan tersebut membahayakan nyawa ibu hamil, pemerkosaan atau hubungan incest.

Pada 20 Oktober 2021, setelah sesi perundingan parlemen yang panjang, mayoritas anggota parlemen negara tersebut memilih untuk melegalkan sborsi.

Baca juga: India Uji Coba Rudal Nuklir di Tengah Ketegangan dengan China

Pengacara Dele Ahounou mengatakan di bawah undang-undang baru, perempuan di perbolehkan melakukan aborsi dalam 12 minggu pertama kehamilan. Jika itu akan menyebabkan kekurangan material, tekanan moral, mempengaruhi pendidikan atau kehidupan profesional mereka.

“Singkatnya, undang-undang ini menempatkan kekuatan aborsi pada orang yang sedang hamil,” jelas Ahounou.

Amnesty International mengatakan bahwa di seluruh dunia, di perkirakan satu dari empat kehamilan setiap tahun berakhir dengan aborsi.

“Mengkriminalisasi aborsi hanya membuatnya kurang aman,” tambahnya.

Sementara itu, kisah Fatima Ismail yang ingin melakukan aborsi pada usia mudanya memberikan dampak yang sukup besar dalam perkembangan legalitas aborsi di Benin.

Baca juga: Amerika Serikat Rilis Paspor Pertama Khusus Gender ‘X’

Meskipun tidak ada data resmi tentang kehamilan yang tidak di inginkan di Benin, para aktivis mengatakan perempuan seperti Ismail di paksa untuk tetap hamil karena tidak dapat diaksesnya aborsi yang aman. Kementerian kesehatan memperkirakan bahwa komplikasi dari aborsi yang tidak aman menyebabkan sekitar 20 persen kematian pada calon ibu.

Hal itu pun membuat Ismail untuk mempertahankan kehamilannya.

 “Saya punya teman yang meninggal setelah mengunjungi dukun untuk melakukan aborsi,” katanya. 

“Jadi pikiran tentang hal itu terjadi pada saya memaksa saya untuk menyimpannya. Aku tidak ingin mati seperti dia,” tukas Ismail.

Pengacara Dele Ahounou mengatakan di bawah undang-undang baru, perempuan diperbolehkan melakukan aborsi dalam 12 minggu pertama kehamilan jika itu akan menyebabkan situasi material, tekanan moral, mempengaruhi pendidikan atau kehidupan profesional mereka.

“Singkatnya, undang-undang ini menempatkan kekuatan aborsi pada orang yang sedang hamil,” jelas Ahounou.

Baca juga: Facebook ganti nama menjadi Meta demi bangun dunia ‘metaverse’ dan tidak lagi sekadar platform medsos – seperti apa bentuknya?

Berita Terkait