Kampartrapost.com – Candi Muara Takus merupakan salah satu ikon terkemuka di Kabupaten Kampar. Candi Muara Takus (yang juga dikenal oleh masyarakat sekitar Candi Motakui, Mua Takui) tepatnya terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar tepatnya kurang lebih 135 kilometer dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru. Komplek Candi Muara Takus tersebut terletak tidak jauh dari pusat Desa Muara Takus, yakni tiga kilometer dan berada di pinggir Sungai Kampar Kanan.
Ada banyak cerita dan sejarah di balik berdirinya bangunan kokoh dan megah ini. Namun, sangat disayangkan bahwa kebesaran dari bangunan kuno ini belum sepenuhnya sampai ke telinga dan diingat oleh benak sebagian masyarakat. Artikel ini akan mengulas Candi Muara Takus dengan mendalam dan menyeluruh, dimulai dengan pembahasan penemuan ‘kembali’ candi ini hingga diskusi tentang candi ini yang pernah menjadi titik pusat peradaban pada masanya.
J.W. Yzerman, orang Belanda yang memulai cikal bakal penemuan Kompleks Candi Muara Takus
Bangunan Candi Muara Takus ditemukan pada awal tahun 1889 oleh seorang warga negara Belanda Bernama J.W. Yzerman. Ia juga merupakan seorang ilmuwan yang saat itu diutus Belanda untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Sumatera, tepatnya Sumatera Tengah. Di saat menjalankan penelitiannya, Yzerman sendiri dibantu oleh

Pertambangan TH.A.F. Delprat dan Opziter HL Leidjie Melville yang bertugas sebagai juru foto. Ekspedisi mereka juga mendapatkan bantuan dari Kontelir J. Van Zon yang berkedudukan di Payakumbuh.
Saat berkelana dan berjalan di hutan Sumatera, Yzerman penasaran dengan bentuk tanah yang berlapis-lapis dan struktur tanah yang berbeda dengan biasanya. Akhirnya, ia melakukan pemugaran dan menemukan bangunan purbakala di daerah Muara Takus. Selain itu, menurut Yzerman, di bagian hilir Sungai Kampar terdapat bangunan yang sama dengan yang telah ditemukannya di Muara Takus, di antaranya, di Bangkinang, Muara Mahat, dan Durian Tinggi. Candi di Bangkinang diperkirakan bangunannya berada di Lima Koto, sedangkan di Durian Tinggi berada di dekat Kapur Tinggi. Namun menurut sebagian arkeolog dan sejarawan, bangunan tersebut sudah tidak ada lagi (kemungkinan sudah hancur).

Sebelum Yzerman, ada beberapa peneliti berkebangsaan Belanda yang pernah melakukan penelitian terhadap keberadaan Kompleks Candi Muara Takus, di antaranya W.P Groeneveld tahun 1880. Di tahun yang sama, hasil penelitian Groeneveld menjadi kunci perjalanan penelitian R.D.M Verbeek dan E.TH Van Delden. Pada tahun 1881, Verbeek dan Van Delden menuliskan pendapatnya tentang keberadaan Candi Muara Takus dengan judul De Hindoe Ruinen Bij Moeara Takoes Aan De Kampar Rivier (Reruntuhan Hindu Di Muara Takoes di Sungai Kampar) dengan memuat gambar yang dari hasil penjelajahan W.P Groeneveld (dikerjakan oleh Pertambangan TH.A.F. Delprat dan Opziter HL Leidjie Melville).
Dalam ekspedisi itu, mereka menemukan tembok keliling yang mengelilingi Kompleks Percandian Muara takus. Yzerman dan TH. Delprat juga mendapati bangunan Candi Muara Takus, lalu kemudian menggambar sket kompleksnya. Mereka menulis penemuannya sebagai berikut :
“Muara Takus terletak pada belokan Sungai Kampar Kanan yang arealnya mencapai 1,25 km². Pada bagian tengahnya terdapat jalan setapak dari Muara Mahat ke Tanjung. Dekat jalan tersebut terletak puing-puing bangunan-bangunan lama”.
Menurut J.W. Yzerman, kompleks Percandian Muara Takus ini dilingkari oleh dinding tembok berbentuk persegi dengan ukuran 74 x74 m, terbuat dari batu pasir (tuff) yang memiliki tinggi satu meter. Semula dia menyangka candi tersebut terbuat dari tanah. Tetapi setelah digali, ternyata ia terbuat dari batu pasir putih yang disusun rapi. Di tengah lapangan, selain dijumpai tumpukan batu, terdapat juga kayu bekas bangunan tempat duduk biksu dan objek lainnya.
Pada waktu mereka sampai di Kompleks Percandian Muara Takus, yang dapat mereka lihat adalah stupa (Candi Mahligai), teras tinggi di sebelah timur stupa (Candi Palangka), Candi Bungsu dengan teras yang mempunyai batas antara batu bata dan batu pasir, dan kemudian Candi Tua. Stupa (Candi Mahligai) merupakan bangunan yang masih baik sehingga dapat digambar menurut keadaan sebenarnya, namun ada bagian-bagian dari bangunan ini yang telah rusak/runtuh. Ukuran batu bata yang digunakan bervariasi, panjangnya antara 23 cm sampai dengan 26 cm, lebarnya 14 cm sampai dengan 15,5 cm, dan tebalnya antara 3,5 cm sampai dengan 4,5 cm. Pada bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan/relief daun oval.
Setelah masa penjelajahan Yzerman, seorang peneliti dan Ketua Ekspedisi Arkeolog dan Antropolog di Sumatera kebangsaan Jerman yang Bernama F.M. Schnitger, Ph.D melakukan penggalian kembali dan hasilnya dituliskan dalam bukunya yang berjudul “Forgotten Kingdoms in Sumatera”. Di tahun 1935, 1936 dan 1938, ia melakukan penggalian terhadap pondasi I dan II, pintu gerbang dinding bagian utara, Candi Tuo (Candi Tua) dan Candi Bongsu (Candi Bungsu). Pada Candi Bungsu yang terletak di sebelah barat Candi Mahligai, pernah ditemukan batu bata yang berbentuk lotus. Di dalamnya terdapat abu dan lempengan emas yang bercampur tanah. Pada lempengan emas tersebut terdapat gambar Trisula dan tulisan yang berbentuk huruf/aksara Nagari. Menurut Schnitger, Teras Candi Bungsu, Candi Tua bagian dalam, Candi Palangka, Bangunan I dan II adalah peninggalan yang berasal dari abad ke-11. Sedangkan Candi Mahligai dan Candi Tua diperkirakan pada abad ke-12.

Berdasarkan hasil penelitian Schnitger terhadap Kompleks Percandian Muara Takus, beliau berpendapat bahwa bangunan tersebut berasal dari abad ke-11 dan kemudian direkontruksi kembali pada abad ke-12. Reruntuhan yang ditemukannya merupakan bagian dari kota yang dikelilingi oleh dinding atau tembok tanah seperti yang ditemukan oleh J.W. Yzerman pada 1889 yang disebut dengan Arden Wall. Kemudian menurut dugaan Schnitger, candi-candi tersebut besar kemungkinan adalah kuburan raja-raja.
Kapan sebenarnya Candi Muara Takus didirikan?
Awal pendirian Candi Muara Takus masih menjadi perdebatan di kalangan Arkeolog dan Sejarawan. Schnitger menyimpulkan bahwa situs ini dibangun sekitar abad ke-11 atau 12. Hal tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukannya pada tahun 1935-1936 setelah menganalisis struktur batu dan bahan utama bangunan candi. Selain itu, tahun 1973, Bennet, Ph.D juga melakukan penelitian dan setuju dengan pendapat itu.
Pendapat lain yang berasal dari ilmuwan Belanda J.L. Moens yang berargumen dengan yakinnya bahwa Muara Takus pernah menjadi pusat dari Kedatuan Sriwijaya dan bangunan ini didirikan pada abad ke-7. Pernyataan tersebut didasarkan atas tafsirannya pada catatan Nanhai dari pendeta Buddha asal China bernama I-Tsing. Pada tahun 672 Masehi, I-Tsing melakukan perjalanan dari Kanton menuju Nalanda, India dan berhenti selama 6 bulan di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta. Shih-li-fo-shih itu sendiri berlokasi tepat di garis khatulistiwa.

Selain itu, Groeneveldt dalam bukunya “Historical Notes on Indonesia and Halaya Compiled from Chinese” juga berusaha membuktikan bahwa Candi Muara Takus sudah ada pada abad awal ke-11. Hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan antara Muara Takus khususnya Candi Bungsu dengan laporan Cina tahun 1003 Masehi. Berdasarkan tulisan tersebut, seorang raja yang bernama Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa dari San-fo-ts’I mengirimkan utusannya ke Cina. Mereka memberi tahu Kaisar tentang kuil baru dan meminta sebuah nama. Kaisar akhirnya memberi nama Cheng-tien-wa-shou. Westenenk mengidentifikasi Cheng-tien-wa-shou sebagai apa yang saat ini dikenal dengan Candi Bungsu. Masa itu, nama rajanya diduga Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya yang memerintah pada abad ke-11.
Pada saat itu Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran Buddha di dunia. Coedes mencatat dalam bukunya bahwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sri Cudamaniwarman, yaitu Dharmakrti. Ia adalah salah satu dari guru/biarawan tertinggi di Suwarnadwipa.

Misteri Candi Muara Takus sebagai Pusat Peradaban
Selain Candi Muara Takus dikenal sebagai salah satu Kawasan Kedatuan Sriwijaya dan pusat pembelajaran agama Budha, Candi Muara Takus juga memiliki sesuatu yang membuat peneliti Schnitger terheran-heran dan takut ketika dia melakukan ekspedisi di hutan Muara Takus bersama pembantunya, Midon. Saat itu, ketika bulan purnama datang, segerombolan gajah akan mengarungi sungai untuk datang ke candi. Setelah sampai, gajah tersebut akan membuat sebuah lingkaran mengelilingi candi dan menjatuhkan lututnya, seakan-akan membuat Gerakan bersujud ke arah candi secara bersamaan. Beberapa ahli sejarawan mengira hal ini dilakukan para gajah sebagai wujud penghormatan kepada jiwa raja yang telah mati yang tubuhnya dikuburkan di sana.
Biasanya gajah akan turun setiap bulan purnama dari Bukit Suligi menuju sungai untuk berkunjung ke bangunan candi. Ini menjadikan salah satu bukti dan suatu kejadian yang pembantu para peneliti untuk mencari lokasi dan letak dari Candi Muara Takus saat itu.
Menurut beberapa peneliti, latar belakang didirikannya Candi Muara Takus adalah karena pada zaman dahulu daerah tersebut merupakan daerah yang sering disinggahi oleh para pedagang arab, Budha dan pelaut yang melakukan penyusuran di Sungai Kampar Kanan dengan menggunakan kapal. Oleh sebab itu, terbentuklah pertukaran budaya antara para pedagang dan penduduk setempat. Hal inilah yang mengarahkan masyarakat dan pemerintahan setempat untuk membangun sebuah candi sebagai tempat beribadah serta acara-acara keagamaan baik bagi mereka yang singgah maupun untuk masyarakat tempatan.
Pusat peradaban yang terlupakan
Seperti yang telah kita ketahui Bersama, keberadaan Candi Muara Takus dan hubungannya dengan Kedatuan Sriwijaya menjadikannya sebagai pusat peradaban pada abad ke-7, baik di Sumatera bahkan di dunia. Sungai Kampar menjadi salah satu sungai yang terkenal sebagai pusat pemberhentian/transit kapal pedagang dan pelaut. Ketika I-Tsing melakukan perjalanan suci dari Cina menuju Kedatuan Sriwijaya, tepatnya Muara Takus, keadaan kota yang dia lihat membuat dia takjub dengan kebesaran dan keagungan Muara Takus. I-Tsing telah menggambarkan ketakjubannya dalam catatannya dengan bunyi sebagai berikut.
“Di negeri Shih-li-fo-shih, kita melihat bahwa bayang-bayang welacakra (jam matahari) tidak menjadi panjang, atau menjadi pendek pada pertengahan bulan delapan. Pada tengah hari, tak tampak bayang-bayang orang yang berdiri di bawah matahari. Matahari tepat di atas kepala dua kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara; panjangnya lebih kurang dua atau tiga ch’ih. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-bayangnya sama, tetapi jatuh ke selatan.”
Pegiat Sejarah Kampar sekaligus Pendiri Yayasan Kedatuan Kampar, Drs. Abdul Latief Hasyim, telah menemukan banyak bukti untuk membenarkan pernyataan I-Tsing tersebut, seperti benda-benda bersejarah, cerita-cerita rakyat kuno, relevansi antara praktik dan pernyataan tokoh kuno, dan sebagainya. Salah satu pembuktian yang dilakukan ahli sejarah tersebut ialah dengan membuktikan apa yang dikatakan oleh I-Tsing di atas.
Sang ahli sejarah, Abdul Latief, menancapkan sebuah tongkat kayu pada siang hari di area kompleks Candi Muara Takus, alhasil tongkat yang ditancapkan tidak memiliki bayang-bayang sekalipun. Menurut tafsiran Abdul Latief, area Kawasan bangunan Candi Muara Takus berada persisi kurang sedikit berada pada 0 garis Kathulistiwa, yang menyebabkan tidak adanya bayang-bayang matahari di siang hari. Hal ini persis seperti apa yang diceritakan I-Tsing ketika ia berkunjung ke Muara Takus. Inilah yang menjadi salah satu bukti bahwa lokasi dari negeri indah yang digambarkan oleh I-Tsing tersebut tepat berada di Kawasan Kompleks Candi Muara Takus.
Terlepas dari itu semua, sejarah kebesaran Muara Takus di masa lalu dari waktu ke waktu semakin memudar disebabkan kurangnya kesadaran dan perhatian dari pemerintah dan masyarakat dalam mendukung penuh upaya pelestarian Kompleks Candi Muara Takus. Sebagai generasi abad ke-21, penulis ingin mengajak seluruh pembaca agar tetap menjaga kelestarian dan mempertahankan salah satu situs paling bersejarah di dunia ini dengan cara merawat bangunan candi tersebut dari tangan-tangan jahat dan mempelajari sejarah besar yang ada dibaliknya. Kita semua pastinya ingin agar anak cucu kita nantinya masih bisa melihat kebesaran sejarah daerah/kampung halamannya.
Referensi
- Candi Muara Takus dalam Kerangka Pelestarian, Kemendikbud <https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/candi-muara-takus-dalam-kerangka-pelestarian/>
- Catatan I-Tsing
- Coedes, George 1918 “Le royaume de Sriwijaya”, BEFEO, XVIII: 1-36
- Groeneveldt, W.P. 1960 Historical Notes on Indonesia and Halaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara
- Moens, J.L. 1924 “Het Buddhisme op Java en Sumatra in zijn laatste Bloeiperiode”, TBG LXIV: 521-579.
- Schnitger, F.M. 1939 “Forgotten Kingdoms in Sumatera”, pp. 33-46