Diduga Melakukan Sistem Kerja Paksa di Xinjiang, Kemeja Uniqlo Diboikot Amerika Serikat

INTERNASIONAL, KAMPARTRAPOST.COM – Sebuah dokumen Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan Amerika Serikat tertanggal 10 Mei mengungkap upaya pemblokiran yang dilakukan Badan Bea Cukai Amerika Serikat terhadap produk kemeja Uniqlo Fast Retailing Co. pada bulan Januari lalu. Aksi pemblokiran ini dilakukan karena perusahaan terkait diduga memproduksi pakaiannya dengan sistem kerja paksa di Pabrik milik pemerintah China yang terletak di Xinjiang.

Pemblokiran kemeja katun pria yang bermerek Uniqlo ini terjadi di Pelabuhan Los Angeles bulan Januari lalu. Guna mendapatkan kembali produknya yang ditahan, Uniqlo mengajukan banding pada pengadilan atas pemboikotan tersebut, namun Badan Bea Cukai Amerika Serikat tersebut menolak.

Baca juga: Perdana Menteri Jerman Beri Dukungan untuk Pemerintahan Israel

Uniqlo adalah merek pakaian asal Jepang. Didirikan oleh Tadashi Yanai pada 1949, perusahaan ini merupakan desainer, produsen, dan sekaligus pengecer pakaian terbesar di Asia.

Dilansir dari Bloomberg, dokumen bea cukai Amerika Serikat mencatat bahwa Uniqlo telah membantah dan memberikan bukti bahwa kapas mentah yang digunakan untuk memproduksi kemeja mereka tidak berasal dari Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang, pabrik yang diduga melakukan sistem kerja paksa. Namun, Uniqlo gagal memberikan informasi yang cukup untuk memastikan barang-barang itu tidak diproduksi oleh para pekerja paksa di wilayah Xinjiang, China.

Perwakilan Uniqlo belum memberikan komentar apapun perihal dokumen tersebut.

Baca juga: Kunjungi Michigan, Presiden AS disambut Ratusan Masyarakat yang Pro Terhadap Palestina

Hingga saat ini masih belum jelas apakah Amerika Serikat telah memblokir pengiriman lain dari Uniqlo.

Pencarian putusan sebelumnya dari bea cukai AS tidak menunjukkan dokumen lain terkait dengan kebijakan terbaru untuk melarang masuknya produk kapas Xinjiang.

Beberapa tahun belakangan, berbagai produsen pakaian global terperangkap dalam kontroversi seputar kapas yang bersumber dari Xinjiang.

Di satu sisi, ada banyak konsumen China yang memboikot merek asing (barat) yang mencoba mengkritik aksi pemerintah China. Di lain sisi, pemerintah di dunia barat seperti Amerika Serikat menindak tegas barang-barang yang bersumber dari China. Gejolak geopolitik telah menambah ketidakpastian bagi perusahaan pakaian yang telah bergantung pada China untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Baca juga: Performa Super, Redmi Note 10s Resmi Liris di Indonesia

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris telah menjatuhkan sanksi pada pejabat-pejabat dan produk-produk asal China. Sanksi ini diberikan guna merespons dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Uighur, Xinjiang, yang menurut pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden merupakan sebuah genosida.

Pemerintah China menyangkal adanya kerja paksa di pabrik-pabriknya dan menyebut tuduhan tersebut sebagai “kebohongan terbesar abad ini“.

Pemerintah China berdalih bahwa mereka ingin memberdayakan tenaga kerja guna mengangkat wilayah-wilayah negara mereka keluar dari kemiskinan, meningkatkan ekonomi, dan juga melawan ekstremisme.

Uniqlo belum menjadi target utama boikot di China dibandingkan dengan saingannya seperti Hennes & Mauritz AB. Perusahaan-perusahaan ini berulang kali menolak berkomentar tentang Xinjiang, dengan mengatakan perusahaan tidak melibatkan dirinya dalam masalah politik.

Baca juga: Bergoyang Gedung Pencakar Langit di China Masih Sisakan Tanda Tanya

Terhitung ada 47 toko Uniqlo di Amerika Serikat pada April. Sedangkan di China daratan, perusahaan Uniqlo Fast Retailing memiliki sekitar 809 toko, yang menjadi seperlima sumber dari pendapatan perusahaan.

Berita Terkait