Kampartra Post – Masyarakat Bangkinang belakangan ini dibuat penasaran dan resah dengan keberadaan anak-anak kecil yang kerap duduk di persimpangan jalan-jalan strategis Ibu Kota Kampar, Bangkinang.
Tidak sekali dua kali, melainkan hampir setiap hari warga yang melewati Jl. Ahmad Yani, Jl. Jendral Sudirman, Jl. Sisingamangaraja, disuguhi pemandangan bocah-bocah duduk tersebar di tiap persimpangan ramai itu. Kadang mereka terlihat duduk lesu dan kadang mereka juga terlihat bermain bersama teman sebaya sesama pemulung dengan tumpukan sampah yang dimasukkan ke dalam goni sebagai latar belakangnya.
Banyak dari warga Bangkinang bertanya-tanya “mengapa bocah tersebut duduk di sana dalam waktu yang lama?”, “mereka menunggu siapa?”, “mereka dari mana?”, “kapan mereka pulang ke rumahnya?”.
Kampartra menjadi bagian dari masyarakat yang ikut penasaran dengan fenomena itu. Baru kali ini Kampartra melihat pemulung yang masih anak-anak sengaja duduk di persimpangan ramai, padahal mereka telah selesai mengerjakan pekerjaan mereka.
Beberapa asumsi negatif pun dilahirkan Kampartra;
Apakah mereka sengaja menjual rasa iba?
Jangan-jangan mereka sengaja duduk di persimpangan ramai itu demi mendapat belas kasihan para warga yang lalu-lalang di jalan tersebut? Bisa saja bukan mereka berniat berprofesi ganda, memulung sampah dan juga memulung ‘belas kasihan’ orang lain?
Asumsi Kampartra tidak tanpa alasan. Budaya ‘mengasihani orang yang malang’ menjadi tren yang ramai di media sosial saat ini. Orang-orang kerap menunjukkan betapa dermawannya mereka dalam mengasihani dan memberi mereka-mereka yang kesusahan dengan uang atau pemberian yang tak sedikit. Tren merekam aksi bagi-bagi rezeki influencer ini yang kemudian melahirkan ‘kaum pencari belas kasihan’. Karena dengan melihat itu orang-orang akan berpikir “kalau seandainya saya terlihat letih, lapar, dan putus asa di tepi jalanan, pasti nanti akan ada yang memberi saya duit”. Tren dunia media sosial ini berpotensi mempengaruhi orang-orang untuk memiliki motivasi untuk duduk di persimpangan lampu lalu lintas yang ramai, kemudian memancing rasa prihatin orang-orang.
Asumsi negatif ini masih dugaan, tapi terbukti memang bocah-bocah di persimpangan jalan Bangkinang itu kerap mendapat belas kasihan orang lain yang lalu lalang di jalan tersebut. Salah seorang warga yang diwawancarai Kampartra mengaku “Iya ibuk sering ngasih duit ke mereka setiap pulang kerja”.
Apakah yang menggerakkan mereka merupakan sindikat eksploitasi anak?
Permasalahan ‘Child Labour’ telah jadi isu internasional yang marak terjadi. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan bahwa 250 juta anak antara usia 5 dan 14 tahun dipekerjakan di negara-negara berkembang untuk berbagai profesi, salah duanya ialah pemulung dan pengemis. Dan biasanya mereka digerakkan oleh sindikat tertentu yang berperan memerintah dan mengarahkan anak-anak tersebut.
Dalam kasus ‘bocah pemulung persimpangan Bangkinang ini’, Kampartra mencurigai kenapa ada banyak anak bisa duduk di waktu yang bersamaan di berbeda tempat. Tak mungkin rasanya mereka merupakan sebuah keluarga. Pikiran negatif ini makin besar melihat sindikat kerja paksa anak ini telah banyak tersebar di Indonesia. Dan Kampartra mencemaskan apakah sindikat ini telah masuk ke wilayah Kampar tercinta.
Dengan kerisauan dan rasa takut itu, rasa penasaran Kampartra berubah menjadi rasa curiga. Campuran rasa itu kemudian menggerakkan Kampartra untuk melakukan investigasi lapangan untuk menguak misteri ini.
Investigasi dimulai
Kampartra mulai bergerak ke lokasi di mana para bocah itu sering ‘mangkal’. Pergerakan itu berlangsung di malam hari tanggal 5 April 2023, sekitar jam 21:40 WIB tepatnya setelah ibadah sholat tarawih selesai.
Awalnya Tim Investigasi Kampartra menuju ke simpang Jl. Ahmad Yani dan Jl. Jenderal Sudirman. Di sana Kampartra menemukan satu anak perempuan yang duduk di trotoar persimpangan itu, tapi kali ini ia ditemani oleh seorang perempuan berusia sekitar 40 hingga 50 tahun-an.
Karena Kampartra ingin mewawancarai bocah tersebut tanpa ada intervensi orang dewasa di sekitarnya, Kampartra pergi ke persimpangan Jl. Ahmad Yani dan Jl. Sisingamangaraja. Saat itu Kampartra menemukan satu anak laki-laki yang terduduk menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya. Usianya lebih kurang 8-11 tahun.
Kampartra pun mendatanginya dan mengajaknya berbicara. Dari perbincangan singkat kami selama lebih kurang 3 menit, kami dapat menyimpulkan beberapa poin penting:
-
Duduk di trotoar persimpangan jalan untuk menunggu seseorang
Si bocah mengaku kalau ia sedang menunggu abangnya untuk menjemputnya. Tidak diketahui apakah itu abang kandungnya.
Kampartra: “Diok. Ngapo adiok di siko?”
Target: “Nggak ada” (menggunakan bahasa Indonesia)
Kampartra: “Nunggu siapo?”
Target: “Nunggu dijemput”
Kampartra: “Siapa yang jemput?”
Target: “Abang”
-
Tak bisa berbahasa ocu, tapi saat ini tinggal di Panca, Salo
Karena ia tak bisa berbahasa Ocu, Kampartra merasa ia bukanlah orang asli Bangkinang. Maka Kampartra pun menanyakan ia tinggal di mana dan berasal dari mana.
Kampartra: “Dimana tinggal?”
Target: “Di Panca”
Kampartra: “Panca Salo?”
Target: “Iya”
Kampartra: “Aslinya orang mana? Salo?”
Target: “Enggak”
Kampartra: “Terus dari mana?”
Target: *terdiam sesaat kemudian menjawab “Dari Lubuk”
-
Memulung dari jam 19:00 WIB (namun warga mengaku juga melihat mereka di sore hari)
Setelah merasa cukup menanyakan latar belakang asalnya, Kampartra lanjut menanyakan perihal aktivitasnya memulung. Ia mengaku mulai memulung di sekitar pusat kota dari jam 19:00 WIB. Namun ketika ditanya sejak kapan ia bekerja memulung, ia menjawab tidak tahu.
Kampartra: “Dari jam berapa kerja?”
Target: “Dari jam 7 malam”
Kampartra: “Keliling di mana aja tadi?”
Target: “Di A. Yani ni”
Kampartra: “Udah berapa lama kerja kaya gini?”
Target: “Ndak tau”
-
Masih belajar di tingkat Sekolah Dasar
Saat itu si bocah mengenakan baju bertuliskan SMPN 1 Bangkinang Kota. Kampartra pun mengira ia merupakan salah satu siswa sekolah tersebut namun ternyata tidak.
Kampartra: “Ini dulu sekolahnya di SMP 1?”
Target: “Masih SD bang” *sambil tertawa kecil
Kampartra: “Jadi pagi-pagi biasanya sekolah?”
Target: “Iya”
5. Bergerak bersama 6 orang (keluarga) lainnya
Kampartra menerima pengakuan bocah tersebut bahwa ia bergerak bersama 6 orang lainnya, salah satu di antaranya ialah mama dari sang anak.
Kampartra: “Kawan-kawan yang lain ada?”
Target: “Ada sih tapi sama mama”
Kampartra: “Berapa orang kalian yang kerja malam kaya gini?”
Target: “6 orang”
Dari pengakuan si anak, maka prasangka Kampartra terkait bahwasanya mereka digerakkan sindikat otomatis terbantahkan. Karena si anak mengaku bahwa ia bekerja bersama abang, adik-adik dan mamanya.
Di sisi lain, dugaan Kampartra kalau mereka menyambi profesi sebagai ‘pemulung belas kasihan warga’ diduga benar. Si anak mengaku bahwa ia menunggu jemputan abangnya di simpang Jl. Ahmad Yani dan Jl. Sisingamangaraja. Setelah Kampartra memantau si anak beberapa menit kemudian, terlihat sang anak pergi ke simpang Jl. Ahmad Yani dan Jl. Jenderal Sudirman, lokasi di mana Kampartra melihat seorang wanita dewasa dan anak kecil yang diduga mama dan adiknya itu.
Dari sini dapat di simpulkan bahwa mereka sengaja berdiam diri di simpang yang berbeda demi mendapatkan peluang yang lebih luas agar mendapat belas kasihan warga yang lewat. Secara logika, bukankan akan lebih mudah bagi abangnya untuk menjemput mama, adik dan dirinya di satu lokasi yang sama? Kenapa harus berpencar?
Observasi Lanjutan
Setelah mewawancarai bocah laki-laki tadi, Kampartra mencoba mencari lokasi lain untuk mencari apakah ada bocah lain di simpang yang berbeda. Alhasil Kampartra menemukan dua orang anak kecil berkelamin perempuan berusia 5-7 tahun di persimpangan Jl. D.I. Pandjaitan dan Jl. Sisingamangaraja.
Waktu itu Kampartra tidak mewawancarainya, namun hanya memantaunya untuk melihat pukul berapa mereka dijemput oleh si abang.
Setelah menunggu lama, Kampartra melihat mereka didatangi oleh dua orang laki-laki dewasa membawa kendaraan yang berisi dengan hasil pulungan. Waktu menunjukkan pukul 23:20 WIB.
Tak lama setelah itu, Kampartra melihat mereka semua (2 laki-laki dewasa, 1 perempuan dewasa, 3 bocah perempuan dan 1 bocah laki-laki) berkumpul di satu titik yakni simpang Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. Ahmad Yani.Pukul 23: 50 mereka berbarengan bergerak dengan dua motor mengarah ke Panca, Salo.
Kesimpulan
Investigasi Kampartra berangkat daripada keprihatinan terhadap anak kecil yang dipekerjakan. Sangat tidak etis rasanya melihat anak kecil diminta bekerja hingga larut malam untuk pekerjaan yang tidak ringan. Hal tersebut telah termasuk kepada tindak eksploitasi anak yang semestinya tak terjadi.
Kenapa anak-anak tersebut mesti diikutsertakan untuk memulung? Bukankah ada 3 orang dewasa yang bisa bekerja tanpa melibatkan mereka? Jikalau alasannya “karena tak ada yang menjaga anak perempuan yang masih kecil di rumah”, bukankah anak laki-laki pertama yang kami wawancarai pertama kali itu sudah bisa diminta menjaga adik-adiknya? Kenapa harus membawa anak-anak itu? Agar mereka bisa mendukung upaya ‘mencari belas kasihan’ warga? Karena anak-anak ampuh memancing para dermawan untuk memberi duit?
Anak-anak tersebut masih dalam masa pendidikan sekolah dasar, jikalau hanya menyuruh mereka duduk di persimpangan jalan untuk diam, termenung, tidur, sebaiknya biarkan anak-anak itu berada di rumah untuk belajar dan beristirahat.
Sebuah penelitian di Jurnal Postkrit: Journal Sociology of Education menyimpulkan bahwa kemiskinan menjadi salah satu faktor terjadinya eksploitasi pekerja anak sebagai bentuk penyimpangan sosial. Bahkan hal tersebut bisa saja dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Bisa kita pahami bahwa orang tua anak-anak itu dipaksa oleh kemiskinan untuk menyuruh anaknya bekerja. Dengan investigasi ini, Kampartra mencoba mengajak pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama memperhatikan masalah ini sehingga pihak orang tua dan anak di kasus ini sama-sama mendapat jalan keluar terbaik.