Kondisi BPJS Sebelum dan Ketika Covid dan Rekomendasi Untuk Menstabilkan Kas BPJS dengan Sustainable

Kampartrapost.com – Sejak 1 Januari 2014, BPJS resmi menjadi badan pengelola program jaminan kesehatan nasional-kartu Indonesia sehat (JKN-KIS). Namun, sayangnya baru satu tahun lembaga tersebut beroperasi sudah mengalami defisit sekitar Rp 1,65 triliun.

Hal ini tidak lepas dari isu Adverse Selection, Moral Hazard, dan Fraud. Katakanlah salah satu penyimpangan yang dilakukan oleh peserta BPJS yaitu mendaftarkan peserta yang beresiko tinggi saja dan juga membayar premi bagi yang sakit saja serta hanya membayar premi bulanan ketika sakit. Tetapi ketika sudah sembuh lupa akan kewajiban iurannya.

Penyimpangan ini tidak datang dari peserta BPJS saja, dari kalangan Rumah Sakit pun kerap terjadi. katakanlah pasien yang direncanakan untuk dilakukan operasi kemudian karena beberapa hal tidak jadi dilakukan. Namun, tindakan operasi tersebut tetap ditagihkan atau contoh lainnya rumah sakit melakukan suatu pengobatan atau pemberikan layanan kesehatan yang tidak dibutuhkan oleh pasien. Akibatnya, terjadi ketimpangan dari jumlah iuran yang terkumpul dengan jaminan kesehatan yang dibayarkan, mengakibatkan kinerja keuangan lembaga tersebut amburadul.

Baca juga: Peretas Matikan Sistem Pemesanan Vaksinasi Covid-19 di Italia

Kondisi tidak juga membaik hingga di tahun 2018 hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan defisit keuangan BPJS semakin membengkak hingga menyentuh angka Rp 9,1 triliun. Kondisi yang mengkhawatirkan ini, mendorong pemerintah turun tangan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 113/PMK.02/2018 tentang tata cara penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana cadangan program JKN.

Selanjutnya, Pada tahun 2019, BPJS tentunya mengalami gagal bayar senilai Rp 15,51 triliun, hal ini pula lantas membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen pada 24 Oktober 2019. Kenaikan iuran itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.

Pemerintah semakin gencar dalam mengentaskan permasalahan defisit BPJS dibuktikan dengan diberlakukannya Permenkes 16 tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan yang memperkuat hukum sekaligus menggantikan kebijakan sebelumnya. Yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 739).

Baca juga: Komedian dan Konten Kreator, Profesi yang Tetap Bisa Bertahan di Kondisi Pandemi Covid-19

Baru saja kebijakan dijalankan dan iuran BPJS dinaikkan, tiba-tiba Pandemi Covid-19 muncul. Pada kondisi awal pandemi, fasilitas kesehatan menjadi sepi pengunjung dikarenakan protokol kesehatan yang mewajibkan masyarakat untuk berdiam diri di tempat tinggalnya. Sedikit-demi sedikit menimbulkan kecemasan untuk berada di luar rumah. Hal ini memiliki efek postitif sebab informasi mengenai pengaruh turunnya utilisasi menyebabkan jumlah uang kas BPJS terus mengalami peningkatan karena jarang digunakan, disamping karena memang adanya kenaikan iuran juga pengawasan terhadap biaya BPJS. Kesempatan dari kondisi yang dialami ini bisa saja menjadi panduan untuk mengelola kas dana jaminan sosial (DJS) ke depannya.

Hingga sejak Juli 2020, BPJS tidak lagi gagal bayar. Bahkan, berdasarkan laporan unaudited pada 31 Desember 2020, arus kas dana jaminan sosial (DJS) kesehatan tercatat surplus Rp 18,7 triliun. Namun, jangan terlalu senang dulu sebab belakangan baru diketahui kelebihan dana yang dikira surplus ternyata masih ada utang piutang yang belum dibayarkan sebesar Rp 25,15 triliun. Yang artinya bila seluruh kas digunakan untuk membayar semua itu, maka masih terjadi defisit sebesar Rp 6,36 triliun.

Akan tetapi, bila ditelisik lebih dalam seharusnya untuk jangka panjang kas DJS mampu benar-benar surplus dikarenakan dalam rentang tidak sampai 2 tahun saja, BPJS mampu menutupi kekurangan biaya sebesar Rp 18,7 triliun tadi. Maksudnya, berarti bila dikelola dengan strategi yang tepat dan belajar dari kondisi yang sudah dilewati, kondisi kas DJS dapat senantiasa stabil.

Lalu bagaimana kondisi BPJS di era Pandemi Covid-19 saat ini? Nah, fasilitas kesehatan di Indonesia kini tidak lagi se-sepi seperti masa awal Covid masuk Indonesia. Sebab angka kejadian dan prevalensi Covid di Indonesia masih sedikit. Kini, bagaikan kebalikannya, fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia semua penuh hingga mengantri bahkan tak jarang penyintas Covid-19 meninggal dunia ketika mengantri dikarenakan angka Covid-19 di Indonesia sangat besar bahkan mengalahkan tsunami Covid India yang sempat viral beberapa waktu yang lalu.

Baca juga: 3 Kebiasaan Buruk yang Bikin Badan Melar Selama WFH

Kenaikan iuran BPJS untuk kedua kalinya di tahun 2020 sepertinya menjadi prediksi untuk mengantisipasi ledakan biaya untuk penanganan Covid-19 di Indonesia saat ini. Bahkan, Menteri Kesehatan RI juga isyaratkan BPJS Kesehatan kembali menaikkan iuran di tahun 2022. Lantas apa langkah yang mampu menjadi rekomendasi untuk menstabilkan kas BPJS?

Mengadopsi strategi yang dicetuskan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, ada tiga pilar strategi pengelolaan kas DJS yang berdampak positif dan membuat sustain serta berkelanjutan. Pertama strategic purchasing, terkait bagaimana BPJS membelanjakan uang sehingga uang yang dibelanjakan masyarakat mutunya bagus dengan biaya terkendali. Kedua, pilar revenue collection, teratur membayar iuran setiap bulannya meskipun di tengah situasi yang sangat berat entah itu digaungkan untuk masyarakat menengah ke atas sekaligus bantuan dari Pemerintah untuk membiayai jaminan kesehatan bagi masyarakat menengah ke bawah. Ketiga terkait dengan edukasi sehingga masyarakat tidak hanya mendaftar ketika saat saat sakit, melainkan peserta di usia produktif, sehat, dan membayar iuran secara teratur. Hal ini pula yang akan memerangi perilaku adverse selection, moral hazard, dan fraud yang dibicarakan pada bagian awal naskah ini.

Selanjutnya, rekomendasi yang dapat diterapkan datang dari pendapat penulis yaitu memaksimalkan pelayanan kesehatan untuk Covid-19 terlebih dahulu, terkhusus bagi penyintas dengan komorbid. Kemudian, benar-benar memastikan kebijakan pembatasan kegiatan berjalan sesuai prosedur sehingga angka Covid-19 di Indonesia dapat di tekan. Dengan maksud, kondisi Covid-19 yang terkontrol dapat menghemat pengeluaran dari kas DJS BPJS pula. Terakhir, yang paling penting dan menjadi kunci adalah mengawasi dan menindak dengan tegas korupsi. Hal ini menjadi penting sebab sebanyak apa pun kas DJS tidak akan terasa manfaatnya bila kasus korupsi masih terus ada bahkan sekalipun bila iuran BPJS terus dinaikkan tiap tahunnya. Dengan demikian, bila semua langkah di atas dapat pelan-pelan diterapkan, maka kenaikan iuran BPJS seharusnya tidak perlu dilakukan.

Berita Terkait