Misi Propaganda Kebencian oleh ‘Globalis’ Dalam Mengubah Perilaku Masyarakat Dunia Menggunakan Data

Kampartrapost.com – Informasi menjadi senjata propaganda ‘globalis’ untuk melanggengkan kepentingannya

Munculnya sarana informasi hasil integrasi antara telefon dengan internet sejak akhir darsawarsa 1970-an kendati menjadi kenyataan saat ini yang digunakan masyarakat global untuk mendapatkan informasi.

Berbagai media komunikasi seperti e-mail pada 1980-an, World Wide Web (WWW) 1991, serta aneka blog dan jejaring sosial Facebook, Instagram, Tiktok pada darsawarsa 2000-an turut menyemarakkan orang-orang dalam memperoleh informasi.

Transformasi media komunikasi cetak ke digital menjadi bukti bahwa informasi itu bersifat dinamis seperti yang dijelaskan oleh Nicholas Negroponte seorang penulis buku Being Digital bahwa informasi terdiri dari bit, yaitu unsur DNA terkecil informasi yang tanpa warna, tanpa ukuran dan berat dan mampu bergerak seperti kecepatan cahaya dan mudah berbaur ataupun bercampur.

Sebagai contoh bentuk bit tersebut adalah percampuran antara audio atau bunyi, video atau gambar, dan data sehingga disebut juga dengan multimedia. Dengan demikian, masyarakat global lebih mudah dalam memperoleh informasi jika dibandingkan pada era atom (media cetak) yang serba terbatas. Bahkan, khususnya di Indonesia kebebasan memperoleh informasi juga sudah dipaparkan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Derasnya arus informasi di tengah masyarakat global saat ini dari berbagai platfiorm, lantas apakah platform tersebut hanya berperan sebagai penyedia informasi? Atau ada misi terselubung dibalik tersebar derasnya arus informasi tersebut?

Ketika seseorang menggunakan platform sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan Tiktok atau bahkan media online lainnya dengan alasan untuk memperoleh informasi demi kelancaran keberlangsungan hidup, justru hal tersebut akan menjadi ‘malapetaka’ bagi orang itu.

Informasi yang diterima oleh seseorang dari platform harus dibayar dengan ‘data’ yang secara otomatis tersimpan dalam ‘penampung data’ platform tersebut ketika mendaftar sebagai pengguna dan akan menghubungkan manusia secara global di dalam arus gelap.

Ada 87 juta data pengguna dari Facebook yang ‘dikudeta’ oleh perusahaan Cambridge Analytica. Data ini adalah sebuah kenyataan bahwa Google dan Facebook memiliki, menguasai, dan menggunakan data pribadi orang-orang dari seluruh dunia.

Menggunakan data itu, orang-orang di seluruh dunia akan dibombardir melalui blog, artikel, situs website, video, iklan, sampai mereka melihat dunia seperti apa yang dilihat oleh platform ataupun start up besar di dunia (Facebook, Instagram, Tiktok).

Misi terselubung ‘Globalis’

Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki bahwa pesan atau informasi dibuat lebih menonjol oleh sebuah platform, suatu informasi ditempatkan lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut.

Penonjolan pesan ini diistilahkan dengan proses framing. Platform ‘media baru’ menggunakan data orang-orang di seluruh dunia dan dianalisis menggunakan ilmu psikologi dan psikografis kemudian akan kembali ke pengguna sebagai pesan yang ditargetkan untuk mengubah perilaku banyak orang.

Pendiri atau CEO platform besar seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok disebut juga dengan ‘globalis’ karena mampu mempengaruhi perilaku orang-orang di seluruh dunia dengan platform (senjatanya).

Dalam konteks ini, globalis menggaungkan penyebaran informasi sebagai bentuk menjunjung tinggi demokrasi di dunia. Pada kenyataannya saat ini, informasi dijadikan misi terselubung sebagai senjata untuk menyudutkan dan menyebarkan propaganda kebencian kepada suatu komunitas tertentu terlepas benar atau tidaknya informasi itu.

Myanmar menjadi bukti bahwa Facebook digunakan untuk menghasut kebencian rasial yang menyebabkan genosida. Begitupun Taliban jadi korban propaganda oleh media besar dari Amerika Serikat dengan pembingkaian informasi yang menyudutkan, sehingga dunia membenci Taliban.

Tidak lupa juga kependudukan Palestina yang direbut oleh Zionis, tapi seolah-olah Palestina yang memperebut. Sehingga, dunia terpapar Islamophobia.

Semua mata tertuju dengan informasi apa yang lebih dominan disajikan dalam platform-platform yang ada. Data dan algoritma yang diperoleh berhasil menjadi mesin propaganda layanan lengkap. Namun, kondisi ini sangat sulit dibendung bahkan dihentikan. Para penerima informasi setidaknya bisa meminimalisir kondisi ini dengan menerapkan literasi media atau cakap dalam menerima dan menyebarkan informasi. Sehingga tidak menambah korban-korban selanjutnya dari misi terselubung ini.

Referensi

Himpunan Psikologi Indonesia, Psikologi  dan Teknologi Informasi, (Jakarta: Himpsi, 2016)

Film The Great Hack

Berita Terkait