Kampartrapost.com – Cryptocurrency atau mata uang kripto resmi diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai mata uang yang di tetapkan dalam forum Itjima Ulama se-Indonesia VII di Jakarta.
“Kripto ini merupakan produk teknologi terbaru. Jika kita lihat ke dalam kitab klasik atau turos tidak ada rujukannya,” kata Prof. Dr H. Jaih Mubarok, SE.,M.,M.Ag, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat saat wawancara bersama wartawan Kampartra Post via telepon pada Senin (15/11/2021).
Oleh karena Cryptocurrency tidak memiliki rujukan dari kitab klasik, kripto dalam ilmu fiqih ini masuk ke dalam mahalul ijtihad, yang berarti sesuatu yang baru dan dapat di ijtihati. Para ulama pun memiliki pendapat berbeda-beda terkait dengan Cryptocurrency atau mata uang kripto ini.
Baca juga:Â Hacker Berhasil Retas E-Mail FBI, Kirim 100.000 Pesan Palsu
“MUI memiliki pandangan tersendiri terkait Cryptocurrency, mereka mengkaji fatwa Cryptocurrency ini mengikuti pendapat ulama Muhammad Rawas Qal’ah Ji dalam kitab Al-Mu’amalat Al Maliyyah Al-Mu’ashirah fi Dhau’ AL-Fiqg wa Al-Syari’ah.
Ulama Qal’ah Ji menekankan jika uang harus memenuhi dua kriteria. Pertama, kriteria legal harus di terbitkan oleh pihak otoritas berwenang di Indonesia sesuai undang-undang.
Kedua, ialah uang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung kecuali dengan alat tukar.
“Hal ini berarti bahwa mata uang tersebut diterima sebagai mata uang masyarakat sebagai media guna memperoleh manfaat,” tutur Jaih.
“Jadi mengapa MUI mengharamkan Cryptocurrency ini karena syarat legalnya tak sesuai kriteria sebagaimana yang Ulama Qal’ah Ji sampaikan,” tambah Jaih.
Baca juga:Â Bongkahan Es Greenland Mencair, Ancaman Banjir Global Meningkat!
Jaih mengatakan secara pribadi ia juga menganggap penggunaan Cryptocurrency atau mata uang kripto ini tidak boleh.
“Mengingat penjelasan Cryptocurrency dari Asosiasi saya secara pribadi tidak memperbolehkan uang kripto, menurut saya begitu,” tutur Jaih.
MUI sendiri menganggap jika Cryptocurrency ini haram karena hukumnya mengandung ghahar dan dhahar. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomer 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015.
Sementara itu, aturan dari Bank Indonesia tersebut menjelaskan jika satu-satunya mata uang yang sah dan berlaku sebagai alat pembayaran di Indonesia hanyalah Rupiah.