Pengadilan Inggris Putuskan Robot Tidak Bisa Mendapatkan Hak Paten

 Inggris, Kampartrapost.com – Pengadilan Inggris baru-baru ini memutuskan menolak pengajuan hak paten Stephen Thaler terhadap Dabus, sistem robot AI miliknya.

Pada tahun 2018, Thaler mengajukan hak paten terhadap dua aplikasi buatannya. Ia mengajukan aplikasi sejenis wadah makanan “Food container and devices and methods for attracting enhanced attention” dan sebuah lampu berkedip. Namun, anehnya dia tidak mencantumkan namanya sebagai penemu kedua aplikasi tersebut.

Sebaliknya, ia malah memilih mendaftarkan Dabus, sebuah robot dengan sistem Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan miliknya sebagai penemu hak paten kedua aplikasi miliknya.

Intellectual Property Office (IPO) Inggris sebelumnya telah mengatakan kepada Thaler bahwa ia perlu mencantumkan manusia sungguhan sebagai penemu. Sebelum pada akhirnya, IPO memutuskan untuk menarik aplikasi tersebut karena penemunya bukan seorang manusia.

Thaler sebelumnya telah membawa kasus ini ke meja pengadilan, namun ia kalah telak dalam pengadilan itu. Kemudian ia melanjutkan kasus ini dengan mengajukan banding ke pengadilan Inggris.

Baca juga: China Uji Coba Drone Laut Ikan Pari

HAK PATEN MENURUT PARA AHLI

Pengadilan Inggris memutuskan dengan mayoritas menyetujuinya, bahwa seorang penemu harus benar-benar manusia.

“Hanya seorang manusia yang bisa memiliki hak paten. Dan mesin tidak bisa memilikinya,” kata hakim Elisabeth Laing.

“Paten adalah hak menurut undang-undang dan hanya bisa diberikan kepada manusia,” tambahnya.

Keputusan ini juga disetujui oleh hakim Arnold, ia mengatakan jika berdasarkan Undang-Undang 1977, hanya seorang manusia lah yang dapat di kategorikan sebagai penemu dan memiliki hak paten.

Sementara itu, Hakim ketiga,  Birss memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Ia setuju bahwa mesin bukanlah orang. Dia menyimpulkan bahwa undang-undang tidak menuntut seseorang disebut sebagai penemu.

“Fakta bahwa tidak ada penyebutan siapa ‘penemu’ itu dengan benar, membuat identifikasi ini  tidak memiliki ketentuan yang harus IPO berikan sebagai syarat pengajuan hak paten,” kata Birss.

Sebaliknya, IPO sendiri dalam aturannya mengatakan jika dalam hak paten tidak wajib menyebutkan nama siapa pun atau apa pun.

Birss juga mengatakan jika kasus paten bisa saja mereka buat lebih sederhana, jika saja Thaler tidak terlalu terobsesi dalam memberikan hak paten kepada sistem AI miliknya.

Baca juga: Facebook Mengucurkan Dana Investasi Sebesar Rp 71 Milyar Untuk Bangun Metaverse

Alih-alih menyebut Dabus sebagai penemunya, Birss mengatakan jika Thaler menyebut dirinya sendiri sebagai penemu, maka masalah ini tidak akan muncul.

“Hak paten biasanya milik seorang penemu. Namun, jika keputusan untuk mengizinkan sebuah mesin di sebut sebagai penemu, maka kepemilikan hak ini akan di pertanyakan,” kata Diego Black dari firma hukum kekayaan intelektual, Withers & Rogers.

HAK PATEN DI BEBERAPA NEGARA

Pada bulan Juli, pengadilan Australia memutuskan bahwa sistem AI dapat di akui sebagai penemu untuk tujuan paten. Lalu beberapa hari setelahnya Afrika Selatan telah mengeluarkan keputusan serupa.

Akan tetapi Amerika Serikat, lebih menyetujui keputusan Inggris bahwa hanya ‘manusia’ yang bisa di katakan sebagai penemu.

Hakim Distrik AS, Leonie M Brinkema kemudian menguatkan keputusan tersebut dalam sebuah pernyataan.

“Seiring dengan perkembangan teknologi, mungkin akan tiba waktunya ketika kecerdasan buatan (AI) mencapai tingkat kecanggihan sedemikian rupa. Sehingga dapat memenuhi kata dari ‘penemu’ yang sebenarnya,” kata Brinkema.

“Tapi, saya kira belum tiba waktunya. Jika itu terjadi, Kongres akan memutuskan bagaimana AI bisa memenuhi sebagai penemu. Tapi ini belum tiba waktunya sudah pasti akan mereka tolak,” tukas Brinkema.

Baca juga: Perempuan dan Peristiwa 65

Berita Terkait