Tantangan Berpuasa Hingga 20 Jam, Cerita Putra Kampar di Norwegia

Kampartra Post – Bulan Ramadhan tentu saja adalah bulan yang dinanti-nanti oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain menjadi bulan yang penuh dengan keberkahan, umat muslim diperintahkan untuk berpuasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, durasi waktu berpuasa di Indonesia adalah sekitar 14 jam dalam sehari. Namun, durasi puasa di negara-negara yang terletak di bumi belahan utara seperti Norwegia dapat mencapai hingga lebih dari 20 jam sehari. Inilah tantangan beribadah yang dihadapi oleh Rizqi Fadhli Syahra, putra Kampar yang saat ini bekerja sebagai insinyur perminyakan di Stavanger, Norwegia.

Norwegia berada di Arctic Circle, di mana dengan kondisi ini Norwegia akan mengalami siang yang sangat panjang di musim panas dan malam yang sangat panjang di musim dingin. Bahkan di Norwegia bagian utara, matahari tidak pernah terbenam selama musim panas dan tidak pernah terbit selama musim dingin. Tahun ini bulan Ramadhan jatuh di musim semi, di mana waktu berpuasa paling panjang di Stavanger adalah sekitar 18 jam. Namun di musim panas, waktu berpuasa di Stavanger bisa mencapai 20 jam.

 “Alhamdulillah kita tinggal di Stavanger yang masih berada di bagian selatan Norwegia jadi waktu berpuasanya tidak se-esktrim wilayah utara.”

Tips Mensiasati Durasi Puasa

Meskipun harus menahan lapar dan haus lebih lama dibandingkan dengan waktu di Indonesia, ini bukanlah menjadi sebuah alasan untuk meninggalkan ibadah puasa. Mengkonsumsi nutrisi yang tepat pada saat sahur dan berbuka adalah kunci agar dapat bertahan berpuasa dalam durasi yang lama.

“Biasanya pada waktu sahur kita cuma banyak minum air putih, dan mengganti nasi dengan roti gandum. Istri juga biasanya menambah menu untuk mengkonsumsi buah-buahan seperti alpukat, kurma, atau pisang.”

Tantangan selanjutnya adalah untuk tetap fit selama bekerja di kantor, apalagi jika harus bekerja di siteatau lapangan pengeboran lepas pantai yang membutuhkan fisik yang kuat. Namun untungnya suhu dingin di Norwegia cukup membantu untuk menunda rasa haus.

“Suhu rata-rata di Norwegia juga relatif dingin. Sekarang kami sedang berada di musim semi dengan suhu sekitar 5 – 8 derajat celsius. Jadi, ini sangat membantu kita menjalani puasa karena tidak terlalu merasa haus.” 

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di bagian utara Norwegia berpuasa ketika matahari tidak pernah tenggelam? Islamic Centre of Northern Norway pernah mengeluarkan fatwa bahwa apabila waktu berpuasa sudah mencapai kondisi ekstrim lebih dari 20 jam, waktu imsak dan berbuka dapat mengikuti waktu Mekkah. 

Beribadah di bulan Ramadhan

Durasi berpuasa yang lama ini juga berpengaruh ke waktu beribadah, terutama ibadah shalat tarawih. Karena adzan maghrib baru berkumandang sekitar pukul 20:30 – 21:00 malam, maka waktu isha pun datang sangat larut di malam hari.

“Tahun ini waktu adzan isha yang paling lambat di Stavanger adalah pukul 23:27 CET. Bahkan beberapa tahun lalu, dalam beberapa hari terakhir tidak ada waktu adzan isha karena langit malam di Stavanger tidak pernah benar-benar gelap. Hal ini tentu sangat berpengaruh ke pola waktu tidur karena untuk menjalankan ibadah shalat tarawih, kita harus begadang dan setelah 2 jam harus bangun lagi untuk makan sahur.”

Toleransi Orang Norwegia terhadap Umat Muslim yang Berpuasa

Negara-negara di Skandinavia sangat terkenal sebagai negara dengan tingkat toleransi sosial tertinggi di dunia. Hal ini juga kami rasakan saat menjalan ibadah puasa. Sebagai minoritas, kami merasa tidak ada diskriminasi dan sangat dilindungi dalam menjalankan ibadah karena kantor memberikan dispensasi untuk jam kerja yang fleksibel selama bulan Ramadhan.

“Walaupun di kantor hanya ada 2-3 orang yang berpuasa, apabila ada undangan acara dinner dari kantor, jam makan nya sengaja diundur lebih malam untuk menunggu para muslim berbuka puasa. Beberapa teman saya juga mengaku tertarik untuk mencoba berpuasa karena manfaat positif nya untuk kesehatan.” 

Namun, guru-guru di sekolah di Norwegia cukup strict apabila ada anak-anak yang dipaksa berpuasa oleh orang tuanya. Jadi, kita harus selalu hati-hati dalam mengajarkan anak agar mau belajar berpuasa tanpa adanya paksaan. 

Kangen Keluarga dan Masakan Indonesia

Sebagai diaspora yang merantau jauh, tentu saja perasaan rindu akan keluarga dan masakan Indonesia menjadi salah satu tantangan besar terutama di bulan Ramadhan. Suasana Ramadhan di Norwegia sangat berbeda dengan suasana di tanah air karena tidak ada pedagang kaki lima yang menjajakan takjil, atau suara adzan dan bedug maghrib yang menandakan sudah waktunya berbuka.

“Kalau pun ingin menikmati takjil seperti di Indonesia seperti kolak, gorengan, es campur, itu semuanya harus dimasak sendiri. Bahan-bahan nya pun lumayan sulit didapat, dan kalau pun ada biasanya harganya sangat mahal.”

Selain itu, tidak ada suasana berbuka puasa bersama keluarga yang biasanya selalu hadir di setiap tahunnya. Perbedaan waktu 6 jam antara Eropa dan Indonesia juga menjadi kesulitan.

“Ketika keluarga di Indonesia sedang buka puasa, saya masih bekerja di kantor. Ketika kami sedang buka puasa di sini, keluarga di Indonesia sudah tidur lelap menunggu waktu sahur. Jadi, cukup sulit mencocokkan waktu untuk video call menikmati waktu berbuka puasa bersama.”

Untungnya di sini terdapat Komunitas Muslim Indonesia-Stavanger yang cukup aktif melakukan kegiatan seperti buka puasa bersama, pesantren kilat anak-anak, dan pengajian mingguan. Acara buka puasa bersama pun dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengobati rasa ingin untuk mencicipi kuliner nusantara dengan berbagai menu makanan yang disediakan.

Namun sayangnya tentu saja tidak ada menu makanan khas Kampar seperti asam pedas baung, lopek bugi, galopuong, sarikayo, atau pelito daun. 😊

“Semoga diberikan umur yang panjang sehingga suatu saat bisa kembali ke kampung halaman dan berkumpul menikmati bulan Ramadhan bersama keluarga.”

Berita Terkait