Posisi Pemerintahan Desa pada Sistem Pemerintahan Daerah Indonesia

             Oleh: Abdurrahman Al-Fatih Ifdal                                       Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia

Kampartrapost.com – Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum dengan corak tradisional tersendiri yang tersebar di Indonesia.

Dengan total kurang lebih terdapat 74,000 desa di Indonesia, keberadaan desa memiliki kedudukan sebagai tingkatan terbawah (lowest tier) dari sistem pemerintahan yang diakui di Indonesia secara hierarki administratif.

Tepatnya berada pada tingkatan paling bawah sebelum pemerintahan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

Keberadaan desa sebagai suatu pemerintahan di Indonesia bukanlah barang baru.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa 2014) sebagai undang-undang terkini yang mengatur mengenai desa juga bukan merupakan kali pertama desa disematkan pada level pengaturan di tingkat undang-undang.

Pengaturan administrasi pemerintahan desa di Indonesia memiliki sejarah yang jauh lebih lama dari keberadaan UU Desa 2014 itu sendiri.

Studi penelusuran peraturan perundang-undangan yang penulis lakukan menunjukkan bahwa desa telah menjadi perhatian utama dalam pengaturan mengenai pemerintahan daerah di Indonesia.

Penulis menemukan bahwa undang-undang pertama yang mengatur mengenai desa dalam undang-undang tersendiri ialah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayah republik Indonesia (UU Desapraja 1965).

UU Desapraja 1965 menggunakan pendekatan yang berbeda untuk mengatur mengenai desa.

Desa atau ‘desapraja’ dalam konteks UU Desapraja 1965 mendefinisikan desapraja sebagai badan hukum.

Namun, perlu diketahui bahwa Indonesia kala itu mengenal dua nomenklatur berbeda untuk merujuk pada desa, yakni (i) desapraja dan (ii) Daerah tingkat III.

Imbas dari diperkenalkannya daerah tingkat III ialah bahwa karena pembagian sistem pemerintahan daerah kala itu yang mencoba untuk membagi habis wilayah Indonesia menjadi daerah-daerah otonom.

Ternyata masih menyisakan adanya daerah-daerah di bawah atau selain daerah otonom yang telah terbagi itu.

Perkembangan Desapraja menjadi Desa

Indonesia hendak memastikan saat itu agar setiap daerah yang ada di Indonesia merupakan daerah administrasi.

Tidak mengherankan, UU Desapraja 1965 pun mendefinisikan desapraja sebagai badan hukum.

Mengingat terdapat proses peningkatan suatu desapraja menjadi daerah tingkat III.

Hal ini tidak lepas dari semangat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang hendak membagi wilayah Indonesia menjadi daerah besar dan kecil. Dengan tetap memperhatikan hak asal usul dari masing-masing daerah yang sifatnya istimewa tersebut.

Kendati demikian, peningkatan ini kiranya bukan merupakan kewajiban utuh yang disematkan untuk setiap desapraja.

Mengingat UU Desapraja 1965 memperbolehkan untuk setiap desapraja dapat bersama-sama dengan Daerah Tingkat III mengatur dan mengurus kepentingan bersama.

Menarik untuk digarisbawahi pada kalimat ketentuan tersebut bahwa terdapat kewenangan untuk ‘mengatur dan mengurus’ yang juga dapat dilakukan oleh suatu desapraja sebagai badan hukum yang belum mengalami peningkatan sebagai Daerah tingkat III.

Penulis berpendapat bahwa hal ini tidak lepas dari betapa pentingnya pengaruh yang dimiliki oleh desapraja sebagai entitas leluhur yang ikut serta dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kato sebagaimana mengutip dari Bayu Surianingrat pun berpendapat pula bahwa UU
Desapraja 1965 ini bahkan membolehkan agar kepala dari masing-masing desapraja
dapat menggunakan nama khas untuk menyebut posisi kepala desapraja sesuai dan
menurut adat kebiasaan setempat masing-masing.

UU Desapraja memang merupakan undang-undang pertama yang mengatur
mengenai desa secara tersendiri.

Tetapi UU Desapraja bukanlah undang-undang pertama yang mengatur mengenai desa.

Baca juga: Bangga! Pemkab Kampar Mendapat Peringkat Pertama Kepatuhan Tinggi Standar Pelayanan Publik 2021

Pengaturan mengenai desa pertama kali dilakukan setidaknya hampir 3 (tiga) tahun setelah Indonesia merdeka.

Tepatnya, pada 10 Juli 1948, pengaturan mengenai desa pertama kali dilakukan ketika Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (UU Pemda 1948).

UU Pemda 1948 mengatur dengan tegas bahwa Negara Republik Indonesia tersusun ke dalam tiga tingkatan, yakni (i) provinsi, (ii) kabupaten (kota besar), dan (iii)
dan desa (kota kecil, negeri, marga, dan sebagainya).

Ketiga tingkatan susunan pemerintahan ini memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya.

Lebih tegas lagi, UU Pemda 1948 hendak memberhentikan situasi lampau di mana desa-desa dianggap mengalami exclusion atau kondisi dikecualikan dari lingkungan pemerintahan Indonesia.

UU Pemda 1948 juga menegaskan adanya perbedaan ‘hak untuk mengatur dan mengurus’ yang dimiliki oleh desa ini dengan hak otonomi yang diberikan oleh penjajah yang membiarkan desa agar dibiarkan tetap statis keadaannya untuk kepentingan penjajahan itu sendiri.

Kala itu, hak otonom desa masih mengacu pada peraturan kolonial, yakni Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Madoera tanggal 3 Februari 1906, Staatsblad Nomor 83 (Gemeente Ordonanntie).

Gemeente Ordonanntie ini mengatur segala bentuk aturan baru mengenai desa, seperti
kas desa dan bank desa, yang justru bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi
manusia.

Sehingga cenderung membuat rancu terhadap bentuk ‘otonomi’ apa yang sebenarnya hendak diberikan penjajah kala itu.

Simpulan

Pengesahan UU Desa 2014 sebagai undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai desa dapat dikatakan revolusioner.

Penggunaan kata revolusioner untuk menggambarkan betapa berpengaruhnya UU Desa 2014 terhadap kedudukan desa di Indonesia bukan tanpa alasan.

Jacqueline, Zakaria, dan Bedner mendeskripsikan penetapan UU Desa 2014 ini sebagai gerakan revolusioner.

Secara lingkupnya mengingat UU Desa 2014 mencoba untuk mendorong desentralisasi yang ada di Indonesia hingga pada tingkat pedesaan-pedesaan yang jumlahnya hampir menyentuh angka 75,000 se-Indonesia.

Lebih lanjut, penetapan UU Desa 2014 tidak lagi memberikan kedudukan sebagai tingkatan terendah dari administrasi pemerintahan.

Tetapi justru memberikan pengakuan konkret dan praktis terhadap desa sebagai subjek
hukum otonom dengan kewenangan dan haknya tersendiri.

Dengan keluapan rasa gembira yang sama yang dialami oleh penulis saat mempelajari UU Desa 2014 melalui tulisan ini, pengaturan mengenai desa di Indonesia datang bukan tanpa alasan remeh.

Penulis merasakan adanya kegentingan dan urgensi yang timbul untuk mengatur desa secara tersendiri pada undang-undang yang tersendiri pula.

Kekhasan desa yang sebegitu menariknya untuk dianalisis dalam konteks Indonesia kerapkali memberikan banyak perbandingan pemicu kepada penulis.

Antara lain mengenai kenapa hanya desa yang diatur tersendiri dalam level undang-undang
dan kenapa kelurahan (in casu diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
2005 tentang Kelurahan) atau kecamatan (in casu diatur di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan) tidak diatur dengan perlakuan yang serupa
melalui undang-undang.

Lebih ekstrem, mengapa UU Desa 2014 ditetapkan lebih dahulu dibandingkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014)?

Penelitian-penelitian di masa depan yang memfokuskan pada pemerintahan desa sekiranya dapat mendorong agar penelitian terhadap kedudukan desa dapat diulas lebih lanjut.

Baik secara historis maupun secara kontekstual.

Penelitian ini menjadi batu loncatan bagi penulis dalam meneliti sistem pemerintahan desa di Indonesia.

Harapannya, tulisan ini dapat pula mendorong tulisan-tulisan yang akan datang untuk mengulas sistem pemerintahan desa di Indonesia
secara lebih holistik.

Sumber:

Hans Antlöv, Anna Wetterberg, dan Leni Dharmawan. “Village governance, community life, and the 2014 village law in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 52, No. 2 (2016). hlm. 163.

Indonesia, Undang-Undang tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, UU No. 19 Tahun 1965, LN Tahun 1965 Nomor 84, TLN Nomor 2779, Ps. 3 ayat (1).

Tsuyoshi Kato, “Different fields, similar locusts: Adat communities and the village law of 1979 in Indonesia” Indonesia 47 (1989). hlm. 93.

A. Amaliatulwalidain, “Sistem Pemerintahan Desa Dalam Tinjauan Sejarah Politik Di Indonesia”, Jurnal Pemerintahan Dan Politik 2, no. 1 (2019). hlm. 28.

V. E. L. Jacqueline, Yando Zakaria, dan Adriaan Bedner. “Law-making as a strategy for change: Indonesia’s new Village Law”, Asian Journal of Law and Society 4, No. 2 (2017). hlm. 448.

Berita Terkait