Minyak Goreng Meroket; Emak-Emak Menjerit

Suud Sarim Karimullah

Mahasiswa Pascasarjana Gümüşhane Üniversitesi, Turki

Kampartrapost.com – Emak-emak Indonesia menjerit di tengah invasi Rusia atas Ukraina. Bukan karena roket Rusia menghantam kota-kota di Ukraina, tetapi harga minyak goreng yang harganya sangat meroket dan bergerak liar sehingga sulit dikendalika.

Bahkan mengalami kelangkaan di pasaran, padahal negeri ini memiliki jutaan hektar perkebunan kelapa sawit dan merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

Emak-emak, abang-abang pedagang gorengan dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) semakin menjerit atas kelangkaan bahan dapur tersebut.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian bahwa pada pada tahun 2019 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14.456.611 hektar dengan total produksi mencapai 47.120.247 ton.

Sedangkan nilai ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak nabati mencapai US$ 14.716.275.000 atau setara dengan 211, 68 triliun rupiah. Sementara itu, menurut gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia, pada tahun 2020 produksi CPO telah mencapai 46 juta ton dengan hasil 43% diantaranya untuk konsumsi dalam negeri kemudian sisanya untuk diekspor.

Kemudian, yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa harga minyak goreng dalam negeri meroket?. Maka salah satu jawabannya adalah sebab Indonesia tidak berdaulat atas produksi yang dihasilkan.

Meskipun kita eksportir CPO terbesar di dunia, tetapi harga CPO justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan kuala lumpur untuk harga kontrak berjangka (CNN Indonesia).

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan harga minyak goreng dengan diterbitkannya surat edaran Permendag Nomor 3 Tahun 2022 bahwa penyesuaian harga minyak goreng satu harga menjadi Rp 14 per liter.

Meskipun demikian, untuk memperoleh satu liter minyak goreng yang dibanderol Rp 14 ribu per liter harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkannya. Bahkan minyak goreng yang disubsidi oleh pemerintah dengan harapan menjadi sebuah solusi malah terjadi kelangkaan dan bahkan sangat sulit untuk ditemukan.

Terdapat temuan Ombudsman RI yang mendapati bahwa stok minyak goreng di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua di pasar tradisional ataupun modern masih langka, bahkan harga komoditas yang terdapat di pasar tradisional melampaui HET yang dipatok dengan harga Rp 14 ribu per liter. Saya tidak bisa membayangkan harga minyak goreng memasuki bulan Suci Ramadhan, mungkin harganya semakin edan dan tidak terkendali lagi.

Mengutip data dari tempo.co bahwa harga minyak goreng yang terdapat di pasar tradisional Aceh dipatok dengan harga Rp. 15 ribu per liter, Bali dengan harga 17-20 ribu per liter, dan di Kalimantan dengan harga Rp. 22 ribu per liter. Bahkan di daerah Jayapura kontribusi minyak goreng sangat terbatas sedangkan di pasaran yang tersisa hanya stok lama dengan harga Rp. 20-24 per liter.

Kenapa pemerintah tidak bisa mengendalikan harga minyak goreng yang beredar di pasaran dengan mengarahkan segala kekuasaan dan menggunakan aparatur untuk menekannya?. Bahkan kartu sembako yang dijanjikan oleh presiden ketika berkampanye pada saat pemilu 2019 tidak memiliki kesaktian ketika digunakan untuk membeli minyak goreng yang harganya meroket dengan harga murah dan merakyat.

Pemerintah harus mengambil sikap dengan melakukan operasi pasar dengan menyediakan minyak goreng sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET), sebagai instrumen stabilitas (pasokan dan harga) dan memberikan subsidi kepada golongan masyarakat bawah yang sangat membutuhkan dengan cara melakukan integrasi dari hulu hingga hilir melalui kartu sembako kepada konsumen yang tidak mampu. Kemudian, memberikan edukasi konsumen mengenai keterjaminan ketersediaan minyak goreng dengan pola hidup sehat.

Berita Terkait